Wednesday 25 September 2013

kau adalah sebab dan akibat atas kepergiannya

pict source: http://ceritakatacinta.blogspot.com/2012/12/kumpulan-puisi-perpisahan-paling-sedih-terbaru.html

Mungkin fluktuasi manusia hampir sama seperti  bumi yang berporos, bulan yang mengitar, dan matahari yang diorbitkan oleh banyak bintang. Sebagai penikmat anugrah Tuhan, kita hanya punya fajar untuk menjemput mentari, lalu berpisah dikala senja. Namun Tuhan tak lupa untuk menemani waktu lelap kita bersama bulan dan bintang.

Bagi penikmat sang surya. Kita mungkin akan mengutuk logika Tuhan yang membagi porsi yang rumit antara matahari dan bulan, karna matahari selalu datang sendiri. Tidak dengan ditemani bintang atau selimut gelap yang menenangkan. Begitu juga dengan bulan yang hampir selalu ditinggal tidur, kecuali jika para pemilik hati sedang butuh merenung. Dan itu kepada bulan.

Kita mungkin luput, saat senja mulai menutup pintunya, matahari memberi ruang bagi bintang untuk dapat dinikmati. Tidak lagi dibalik tubuh matahari yang mendominasi, tapi dengan tubuh kecilnya yang bercahaya. Perginya matahari, menjadi sebab bagi para pecinta bulan dan bintang. Kali ini bintang terbesar di Bima Sakti itu mengalah. Lalu saat fajar mulai mengetuk pintu, hampir sebagian dari kita mengutuk. Menyumpahi kejahilan matahari yang menembus rongga kamar 'tidak pada waktunya'. Mulai rutinitas dengan segala keterpaksaan. Dan lagi-lagi bulan dan matahari saling berbalas budi, dengan bersembunyi di ruang yang berlawanan. Kali ini bulan menjadi sebab bagi matahari dan menjadi akibat dari kekesalan penghuni bumi.

Kita adalah matahari bagi bulan dan bintang
Mungkin detik ini, tak terhitung seorang anak yang ditinggal ayahnya dan ibunya menuju rumah tuhan, seorang teman yang dipisahkan jarak dengan sahabatnya, dan seorang pecundang yang memilih meninggalkan hidupnya. Sebagai manusia, kita selalu memaknai kepergian dengan luka yang tak terobati. Mengganti setiap rotasi perjumpaan dengan kesedihan. Semua menolak untuk berjumpa dengan perpisahaan dan akan membayar mahal untuk mempertahankan segalanya.

Tanpa pernah mau tau apa-apa, kepergian selalu kita asumsikan dengan kutukan Tuhan.  Menyalahkan siapapun yang mampu menyudahi kemarahan kita akan logika Tuhan. Anggap saja seorang anak yang ditinggal pergi oleh Ayahnya. Bukan figur seorang ayah yang hanya dapat dijumpai selepas senja, tapi seorang yang selalu datang tanpa perlu menunggu senja. Semua mencintainya, terutama gadis semata wayangnya. Beberapa waktu setelah sang ayah menutup matanya, gadis yang mulai menginjak belia itu rewel sekali. Meneriaki segalanya, memanggil-manggil sisa-sisa kehidupan, dan menuntut kearifan Tuhan. Beberapa bulan ke depan, sang anak yang sangat lekat dengan sifat manjanya, kini jauh lebih mampu menguasai dirinya. Perlahan mulai melepaskan ketergantunganya dengan banyak hal. Dan kepergian sang Ayah menjadi sebab bagi tabiat anaknya.

Mundur beberapa saat sebelum sang ayah dipanggil Tuhan, malam itu hujan turun dengan deras. Namun bocah 10 tahun ini terus merengek untuk hal sederhana. Boneka beruang yang dilihatnya sore tadi. Sang ayah yang bingung, menembus hujan untuk menutup kesedihan putrinya, sampai akhirnya Tuhan mengambilnya dalam sebuah kecelakaan. Dan lagi-lagi sang anak menjadi akibat atas kepergian ayahnya.

Seperti halnya matahari bulan dan bintang, kita dan kisah ayah anak ini selalu berdampingan dengan sebab akibat. Kita semua saling dipertemukan dengan benang sebab akibat. Namun hanya sampai waktunya tepat, kita dapat memaknai benang yang hampir kasat mata. Menakar keadilan Tuhan yang tak sejentikpun dapat kita logikakan denga baik. Mungkin kepergian memberi kita jawaban atas segala bentuk pertanyaan sebab dan akibat.

Menjawab makna perpisahan
Jika memaknai perpisahan itu masih menjadi pengorbanan yang rumit, kita perlu mulai membuka halaman yang lebih baru. Tidak dengan teori perbisahan yang selalu berdampingan dengan duka. Kesedihan pun saat ini sudah mulai ditinggalkan, tak sedikit golongan orang yang menyambut meriah kepergian seseorang. Karna duka tak bisa menjadi pintu bagi seseorang menuju surga.

Tak perlu dengan pesta meriah seperti tradisi dibeberapa daerah di Indonesia, cukup dengan merenungi kehendak Tuhan. Karna kita tak pernah tau kapan Tuhan menggambil apa yang Ia titipkan. Dan mungkin kita adalah sebab dan akibat atas segala kehendaknya.

No comments:

Post a Comment