Sunday 23 June 2013

dialog udara

pict source: flickr.com

Benar memang jika pukul 8 terlalu larut untuk dukuk di bawah pohon beringin. Menikmati dingin kota Malang yang hampir selalu tak bersahabat. Tapi aku terlalu lelah untuk bersembunyi dalam kehangatan yang tak merubah apa-apa. Karna malam ini seseorang juga ikut melingkar bersamaku, berdua membagi beban masing-masing. Melakukan ritual yang tak pernah berubah.

Tak banyak yang aku luapkan. Hanya ulasan klasik tentang masalahku yang hampir sama setiap hari. "Aku benci terjebak seperti ini, hidup dengan bahkan tanpa pilihan."

"Menurutmu aku juga bisa memilih?!" air mukanya bahkan sudah mulai memanas di awal perbincangan kita.

"Setidaknya kau masih bisa membentengi diri dengan egoisme. Sedangkan aku? Menggerakkan kuku pun tak mampu," suaraku mulai terasa parau, semua terlalu berat. "Aku lemah...."

"Aku juga tidak lebih kuat darimu."

Hening.

Percakapan ini semakin terasa suram. Dua manusia dengan jalan hidup yang berbeda, duduk dan bercerita dengan orang yang hampir sama sedihnya. Walau pada akhirnya kami berdua tahu, forum malam ini tidak akan menyisakan jawaban yang pasti. Hanya sekedar dialog rasa yang mengambang, mengudara.

Bosan terjebak dalam kesunyian, ia kembali mengadu, "tinggal menunggu waktu, sampai aku siap meninggalkan penjara ini."

"Meninggalkan? Lalu kau akan meninggalkanku di belakang?!" aku menarik nada setinggi mungkin.

Entahlah, aku semakin gerah dengan percakapan ini. Sekilas kita semakin tak berada dalam satu lingkar pikiran yang sama. Aku yang tetap ingin bertahan dan dia yang memilih bebas entah kapan. Sejenak aku mulai menerawang kesendirianku, hidup dalam ruang yang selalu kupersepsikan dengan kesukaran. Tanpa seseorang yang benar-benar menguatkanku. Walau dengan timpalan kebosanan yang sama.

"Apa aku bilang tentang meninggalkanmu?" tanpa alasan yang jelas ia menggenggam tanganku. Mungkin mencoba menguatkanku, "aku hanya pergi menuju kebebasan, dan kebebasan itu tidak jauh dari tempat kita melingkar."

Genggamannya semakin erat, namun air mataku jauh lebih dahulu menumpahkan resahnya. Semua terlalu sulit untuk kulumat sekaligus. Keterbatasan dan kehilangan.

"Percayalah.." ia semakin panik melihatku yang tak terkendali malam ini. Tubuhnya merapat, berusaha menjangkau kesedihanku yang tak tahu di mana letak sakitnya. Satu demi satu ia sentuh wajahku, bahuku, lalu memelukku lembut.

"Apa ini lebih baik?" suaranya setengah berbisik, tepat di balik daun telingaku.

"Tidak lebih baik dari keberadaanmu!" aku membuang tubuhnya. Menyeka pipiku yang hampir becek digenangi air mata. Bagiku pelukan itu hampir seperti perpisahan, dan aku belum mau menyebut malam ini perpisahan.

"Sok tegar!" tawa renyahnya menggema tepat di sekitar tubuhku. Rambutnya yang hampir tak bisa disebut laki-laki juga tersibak mengikuti irama tawanya. Ya, ini lah yang aku tunggu-tunggu di setiap perbincangan kami.

Namun pada akhirnya, aku tahu setiap perjumpaan kita tidak pernah menyisakan apapun. Hanya sebatas rasa ingin bertemu, membagi, dan tak memberi apapun. Aku memang tak pernah berhak menuntut apapun, karna kita selalu menceritakan topik yang nyaris persis. Hanya dengan sudut pandang berbeda. Aku percaya dengan kesetiaan dan kau yang menunggu kebebasan.

No comments:

Post a Comment