pict source: singleblackmale.org |
Putri
Aku benci harus menaiki motor tua
ini. Suara derunya bahkan menunjukkan umurnya yang hampir tutup usia. Ditambah
lagi pria paruh baya yang terpaksa kupanggil ayah ini berusaha mempercepat
lajunya. Seakan-akan tak ingin putrinya terlambat barang satu detik.
Ingin sekali aku memperlambat
waktu. Kalau perlu mesin karatan ini rusak ditengah jalan dan tak lagi
tertolong. Aku benci sekali harus meladeni semangat penjual cincau ini
melihatku berseragam sekolah. Kalau bukan karna enambelas tahunkku sudah
dibayar olehnya, aku mungkin sudah memilih hidup bebas. Tanpa harus menginjak
gerbang sekolah.
Suara bising knalpot mendadak
hilang. Ternyata limabelas menit berlalu lebih cepat dari yang aku harapkan.
Bahkan belum sempat aku menggerutu, ayah sudah memarkirkan motornya tepat di
depan gerbang. Di antara mobil-mobil mewah yang tak dapatkutebak siapa pemiliknya.
Ayah menyenggolku dengan bahunya,
mengisyaratkanku untuk segera turun. Ah, dengan malas aku meladeni
permintaannya lalu menatapnya yang sedari tadi terus tersenyum.
“Aaa.. ah aah iaah..,” kumis lebatnya
hampir mengikuti gerak bibirnya. Tak satupun ucapannya yang dapat kucerna,
kecuali tangannya yang bergerak-gerak mengisyaratkan sesuatu dan senyumnya yang
tak kunjung habis. Dengan raut malas aku menatapnya, mencoba menggambarkan
kejenuhanku.
Pulanglah, sebelum seisi sekolah
mentertawakanku.
***
Aku menatap bayanganku dengan
geram. Memaki situasiku yang bahkan tak pernah bersahabat. Dan untuk
kesekiankalinya memekik pada cermin,”AKU BENCI HIDUPKU!!” Puas. Mungkin kali
ini seluruh uratku benar-benar bekerja. Memuntahkan segala penat yang bersarah
hebat dalam ubun-ubunku. Menumpahkan segalanya pada ruang yang tak terjamah
banyak orang. Lalu membiarkanku meregang dalam renungan.
Seperti biasa, aku selalu
menghabiskan setengah jam istirahatku dengan memojok di sudut kantin. Menatap
kosong makan siangku dengan segala bentuk kebosanan. Membiarkan seisi kantin menertawakan
kesendirianku. Toh aku sudah terbiasa
seperti ini. Anggap saja seperti cemilan yang harus kusantap setap hari.
“Kasian ya, Bapaknya bisu anaknya
juga nurun,” suara yang sudah sangat aku kenal menepuk punggungku. Dilanjutkan
dengan tawa yang menggaung hingga ke dalam telingaku. Membuatku semakin muak
merampungkan nasi gorengku. Dan belum sempat gadis itu menyelesaikan gurauannya,
aku lebih dahulu meraba bahu. Mendapati kertas hvs putih menempel di seragamku,
menyisakan bekas double tape yang
sebenarnya bukan apa-apa bagiku.
Ayahku bisu dan tuli. Begitu kira-kira yang dapat kubaca.
Geram. Dalam-dalam aku menggigit
bibir. Mencoba mencerna beberapa detik yang baru saja berlalu. Dan rekaman satu
tahunku di sekolah ini seperti diputar kembali dengan cepat. Sangat cepat,
bahkan lebih lebih cepat dari gerak emosiku. Satu tahunku yang bahkan hanya
menyisakan kebencian. Bukan hanya pada setan-setan berseragam ini, tapi juga
pada ayahku sendiri.
Gadis berkuncir kuda yang bahkan
tak ingin kuingat namanya telah jauh memunggungiku. Meninggalkan kantin yang
hampir suram mengimbangi rautku.
BRAAK!!! Sekuat tenaga otot -ototku
menunjukkan kemarahanku. Meja dan kursiku bergetar hebat. Nasi goreng yang
bahkan sedikitpun belum kesentuh, berhamburan bahkan hingga mengotori bajuku. Aku
berlari mengejar bajingan kecil itu, membiarkan rambut riap-riapanku tersibak
dan berantakan.
“ANJING!” mendorong bahunya
hingga ia tersungkur bahkan belum cukup membayar olok-olokan yang harus kutelan
setiap hari. Persis seperti yang kuduga, gadis manja itu merintih. Setetes darah
mengalir dipelipis lengannya.
“Pecundang! Kau bahkan tak pantas
merintih. Itu bukan apa-apa jika dibandingkan luka yang kau sisakan untukku.”
***
Pukul sebalas dini hari, aku
pulang sangat larut. Menyusuri lorong perumahanku yang sangat sempit. Tanpa
sedikitpun rasa bersalah, aku memasuki halaman rumah mungil yang hampir
seluruhnya dari triplek. Mendapati ayah terjaga di depan pintu. Ia menunggu
seseorang yang tak lain adalah aku.
Belum sempat aku melangkahi tubuh
dempalnya yang duduk menghalagi pintu, ia tersentak mendengar langkahku. Walau
belum sepenuhnya sadar dari lelap, ia sudah beranjak, memasang mata
lebar-lebar. Menatapku penuh haru. Yang dinanti sudah tiba.
“Aaah! Aaa haaa aaahhh,” tanganya
kali ini bergerak dua kali lebih cepat dari biasanya. Tatapan haru itu
tiba-tiba berubah menjadi kecemasan. Aku dapat merasakan semuanya. Setengah
mati ia mempertanyakan keterlambatanku yang hampir berjam-jam lamanya.
Memaksaku mempertanggungjawabkan semuanya dan berjanji tidak mengulanginya
lagi.
Aku tak meladeninya, apalagi
memberi janji-janji yang baru saja ia minta padaku. Dengan geram, aku hanya
mengacak-acak rambutku, lalu meninggalkannya yang masih terpaku ditempatnya.
Menuju tempat tidurku yang bahkan tak layak disebut kamar. Membanting pintunya
amat kasar sebagai protes atas ketidaksukaanku.
Tok tok. Daun pintuku bergetar. Secarik kertas kecil masuk melalui
sela-sela pintu. Tanpa perlu repot-repot meraihnya aku dapat membacanya dengan
sangat jelas. Tulisan besar-besar khas ayah.
Maafkan Ayah. Segera ganti seragammu. Ayah tunggu di meja makan.
Aku memilih mengindahkan
permintaannya. Tanpa pernah berniat untuk mengganti seragam, aku duduk
dikasurku yang hampir rapuh. Menatap jendela kamar yang mungkin hampir seminggu
tak pernah kututup. Aku suka menatap langit di malam hari, membiarkan angin
menyentuh tengkukku yang hampir merinding menahan dingin. Bintang yang dengan
manis menghiasi malam, itu yang aku panggil dengan Tuhan.
Aku tak mengadu seperti biasanya.
Aku lebih ingin mengutuk hari ini. Menuntut janji-janji kebahagiaan yang selalu
aku dengar di setiap doaku pada Tuhan. Janji-janji yang bahkan satupun tak dapat
kuraba, kecuali kesedihan yang selalu menutup hariku.
Tuhan, boleh aku lelah harus
menunggu rahmatmu?
Menunggu waktu yang tepat
untukku hingga akhirnya Kau memilihku untuk menerima nikmatmu.
Tuhan, boleh aku membencimu yang
selalu menomer-sekiankan doaku?
Meletakkan permintaanku dalam
daftar paling bawah.
Tuhan, boleh aku menyusul ibuku?
Menemaninya yang sudah bertahun-tahun menungguku dikeabadiaan.
Sebilah cutter yang tergeletak tak jauh dari tempatku terjaga mungkin bisa
menjadi jawaban. Jawaban yang mampu mengakhiri semua kepenatanku. Membawaku
pada akhir cerita yang lebih dari sekedar mengharukan, namun juga meneduhkan.
Tuhan, aku ingin pergi menuju ketenangan.
***
Entah sudah berapa lama aku
terjaga, samar-samar aku mencoba meraba apa yang ada sekitarku. Langit-langit
dan tembok yang hampir seluruhnya putih. Selang-selang yang mentransfer cairan
merah melalui lenganku. Aroma pinisilin
yang masih aku ingat saat pelajaran kesehatan. Tanganku yang terasa mati rasa
terbalut kasa putih.
Apa mungkin ini ketenangan yang
belum lama aku pinta kepada Tuhan?
Perlahan aku mulai dapat mencerna
situasiku, menjawab kebingunganku beberapa saat lalu. Tuhan sepertinya belum
mengijinkanku menemui ibu. Aku bahkan dapat merasakan nafasku yang beradu
dengan udara ruangan yang sengaja dibuat dingin. Sangat jelas ini adalah bilik
rumah sakit.
Walau belum sepenuhnya sadar, aku
dapat merasakan betul suara detak yang entah datang dari mana. Suara mengendus
yang sudah sangat aku hafal bertahun-tahun, nafas Ayah. Benar saja, ia terjaga
tepat di sampingku. Dalam ranjang yang berbeda, aku dapat melihat rautnya yang
sangat lelah seperti tak ingin bangun lagi. Selang-selang kecil menembus kulit
lengannya yang mulai keriput.
Tanpa perlu penjelasan, tiba-tiba
aku seperti begitu menyayanginya. Kebenciaan yang sudah mengerak bertahun-tahun
lamanya sepertinya hilang hanya dengan melihat wajahnya. Berganti dengan rasa
bersalah yang sepertinya sangat tidak layak untuk dimaafkan. Aku mengerti betul
ia baru saja melewati masa-masa yang sulit. Setengah mati memperjuangkan
hidupku. Memohon pada siapapun agar aku diberi kesempatan kedua. Kesempatan
untuk sekedar lebih mencintainya
Ayah, aku sudah bangun.
Ayah
Aku menderu motor tuaku
dalam-dalam. Mesin butut ini harus menurut denganku kali ini. Aku butuh
kecepatan yang maksimal. Putri satu-satunya yang sangat aku cintai tidak boleh
terlambat menuju sekolah. Ia harus selalu tepat waktu dalam menuntut ilmu.
Karna ia harus selalu lebih baik dariku. Jangan lagi ada yang meneruskan usaha
cincau kaki limaku,apalagi sampai anakku.
Walau sejak sarapan tadi ia
terlihat sangat malas, aku sangat yakin ia punya semangat yang sama sepertiku
pagi ini. Mengantarnya sampai gerbang sekolah selalu membuatku bahagia. Rasanya
tak ada yang lebih membahagiakan daripada melihatnya melambai di pagi hari dan menunggunya
di sore hari. Anakku pasti akan sangat membanggakan.
Aku selalu mengutuk Honda
keluaran tahun 80’an yang aku dapat dari pasar rongsok ini. Mengapa motor ini
harus menghabiskan limabelas menit hanya untuk satu setengah kilometer.
Sedangkan motor-motor keluaran terbaru mungkin hanya butuh waktu kurang dari
sepuluh menit. Benar menyebalkan.
Sebelum aku melepas putri
memasuki pintu megah sekolah, aku selalu menatapnya penuh bahagia. Menyelipkan
nasihat yang tak bosan kuulang setiap hari. Walau dalam diam, aku setengah mati
mengisyaratkan rasa banggaku padanya. Dengan cara yang mungkin sulit ia
mengerti.
Belajarlah yang rajin anakku. Ayah yakin kau pasti sukses.
***
BRAAKK!! Aku membanting centong
perak yang sedari pagi aku gunakan untuk mengaduk adonan. Sekarang sudah hampir
pukul duabelas siang, tapi aku belum juga berhasil menyelesaikan kue tart yang terlihat
cantik di buku resep. Payah, ayah macam apa aku ini, hanya untuk membuat kue
saja aku sampai harus cuti berjualan cincau satu hari.
Seketika aku mulai rindu dengan Ani, kembang desa yang aku
nikahi duapuluh tahun yang lalu. Wanita hebat yang setengah mati berjuang
menghadirkan Putri untuk menjadi teman hidupku sampai hari ini. Hingga akhirnya
ia harus gugur dalam peperangannya sendiri. Bahkan sebelum gadis kecilku sempat
melihat wajahnya.
Andai saja ia masih menemaniku saat ini, mengisi rumah kami
yang hampir sepi selama bertahun-tahun belakangan ini. Setidaknya untuk saat
ini, ia dapat membantuku menyiapkan kue tart lezat untuk anakku yang hari ini
sudah menginjak tujuhbelas tahun. Memberi hadiah terindah sebelum akhirnya aku
harus berhenti memanggil putriku gadis kecil.
Sudahlah, sepertinya aku memang harus memesan kue tart di
toko kue di simpang jalan.
***
Langit sudah sangat gelap. Aku melirik jam dinding rumahku
dari teras. Hampir pukul sepuluh, namun putri tak kunjung datang. Bagaimana
mungkin di hari ulang tahunnya ini ia pulang sangat larut. Sedang apa ia di
luar sana? Apa mungkin teman-temannya sedang memberikannya kejutan seperti yang
sering kulihat di acara TV. Entahlah, aku tak begitu faham tingkah anak muda
jaman sekarang.
Waktu berlalu, sudah hampir setengah jam aku menunggunya.
Rasa penasaranku kini berubah menjadi kecemasan yang luar biasa. Ayah macam apa
aku, membiarkan anakku di luar sana dan tidak tau bagaimana kondisinya. Tapi
apa yang dapat aku perbuat selain menunggunya. Ah, andai saja aku hidup berkecukupan,
ingin aku membelikannya telepon genggam. Setidaknya aku bisa memastikan
posisinya.
Maafkan ayah ya..
Semakin lama seperti aku mulai kehabisan daya menunggu
putriku pulang. Sesekali aku terlelap sejenak lalu terbangun beberapa saat. Satu
hariku yang cukup berat sepertinya sudah memanggilku untuk beristirahat.
Ternyata hanya untuk membuat kue tart saja aku harus merasakan lelah yang lebih
parah daripada menjual berpuluh-puluh gelas cincau sehari. Payah.
Suara langkah yang beradu dengan tanah yang basah membuatku
tersadar dari tidurku yang bahkan kurang dari satu menit. Puji Tuhan, putriku
kini sudah berdiri dihadapanku. Rautnya terlihat sangat lelah. Jelas saja ini
sudah pukul sebelas malam. Aku yang gelagapan segera bangun dari dudukku dan
menyambutnya. Mempertanyakan keterlambatanya dengan nada yang sedikit meninggi.
Aku panik setengah mati.
Ia yang sepertnya kesal mengacak-acak rambutnya, memekik
tetap dihadapannku, lalu meninggalkankku yang masih termangu. Masuk membanting
pintu kamarnya. Apa putriku marah dengan caraku menyambut kedatangannya. Ya
Tuhan, ini hari ulang tahunnya. Bagaimana bisa aku membentaknya?
Dengan penuh rasa bersalah, aku mengetuk pintu kamarnya.
Berharap ia akan membukakan pintu dan memberikanku pelukan sebagai tanda
memaafkan. Tapi sia-sia, ia tidak menjawab apapun dari dalam. Mungkin ia butuh
waktu untuk menenangkan dirinya. Lebih baik aku menunggunya di ruang makan
dengan kue tart yang sepertinya sudah semakin lembek menunggu berjam-jam.
Maafkan Ayah. Segera ganti seragammu. Ayah tunggu di meja makan.
Semoga pesan yang kuselipkan di sela-sela pintu kamarnya dapat memperbaiki
situasi.
Kue tart ini benar-benar cantik,
aku bahkan menghabiskan hampir satu jam hanya untuk memilih yang terbaik. Aku
yakin betul putriku sangat menyukainya. Belum lagi ia sudah sangat lama tidak
menyantap kue yang lezat.
Tuhan, aku sangat berharap malam
ini berjalan sempurna. Bahkan sebelum pertengkaranku dengan putriku. Tulisan “selamat
ulang tahun putri cantikku” yang sengaja aku pesan oleh si pembuat kue ini
lebih dari sekedar istimewa. Aku ingin sekali melihat senyum gelinya saat
melihat kue yang kuhadiahkan untuknya. Senyum yang sudah bertahun-tahun tak
pernah kulihat.
Putriku, maafkan segala
kekurangan ayah.
Maaf jika akhirnya kau harus
menanggung malu atas segalanya
Tak perlu membenci Tuhan, karna
ini memang yang terbaik untuk ayah.
Bahkan Tuhan sudah menghadirkan
anugrah yang tidak ternilai indahnya.
Saat kau lahir ke dunia ini,
ayah bahkan sudah melupakan kekecewaan kepada Tuhan.
Ternyata ia menghadiahkanku
seorang gadis kecil atas segala ketabahanku.
Gadis kecil itu adalah kau.
Limabelas menit berlalu, namun
putriku tidak juga menemuiku. Apakah hanya untuk bersalin saja butuh waktu
sebegitu lamanya. Atau mungkin pesan kecil yang kuselipkan tak terbaca olehnya.
Atau mungkin ia lebih memilih untuk
terlelap dan enggan bertemu danganku.
Tok tok. Untuk keduakalinya aku
mengetuk pintu kamar putriku. Tak ada jawaban. Aku kembali mengetuknya lebih
keras berkali-kali, namun tetap tak ada jawaban. Aku benar-benar cemas dan
akhirnya memutuskan untuk mendobrak pintu yang hampir rapuh itu.
BRAAK!! Kamar petak dua kali dua
itu terlihat sangat sepi. Aku bahkan tidak mendapati putriku sedang terlelap di
ranjangnya. Dengan awas, mencoba berfikir hingga akhirnya aku mendapati darah
segar mengalir dari balik kasur. Aku dapat denga jelas melihat lengannya yang
terus mengucurkan darah dengan deras.
Ya Tuhan dia mencoba mengakhiri
hidupnya.
***
Ada sekitar dua orang perawat dan
satu orang dokter, membantuku menggiring putriku yang sepertinya sudah hampir
kehabisan darah. Mereka sama paniknya denganku, tapi sepertinya ketakutanku
jauh lebih hebat. Sekuat tenaga aku mencoba mengontrol diriku hingga akhirnya
para ahli medis itu membawa putri menuju ruang besar bertuliskan ICU. Ruang
yang sama saat istriku melewati masa kritisnya, hingga akhinya meninggalkanku
terlebih dahulu.
Tuhan, aku tidak ingin mengalami
kehilangan yang sama untuk keduakalinya.
Putriku bahkan lebih berharga
daripada apapun.
Aku bahkan lebih mencintainya
daripada mencintai diriku sendiri.
Aku bahkan rela mengorbankan
apapun demi nafasnya.
Sekalipun itu nyawaku.
Sekalipun itu nyawaku.
Tuhan, jangan pernah lelah memberinya kesempatan. Ia masih terlalu muda
untuk meninggalkan dunia ini.
Setelah hampir satujam berlalu,
dokter laki-laki dan seorang perawat yang mengawal putriku sejak tadi
menemuiku. Wajahnya kini bahkan lebih panik dari dari sebelumnya. “Haaa aaa
ahhh aaaa!” belum sempat ia mengawali penbicaraan, aku sudah memotong. Entah ia
paham atau tidak, setengah mati aku mengisyaratkan ketakutanku.
Kau boleh ambil semua yang kumiliki, rumah, uang, tapi tidak putriku.
Putriku harus selamat, Dok.
Dokter muda itu tidak menjawab.
Entah karna dia tak mengerti bahasaku atau bagaimana. Ia hanya menatapku yang
sedari tadi menangis panik dengan iba. Aku menggerang, berkali-kali kugoncang
tubuhnya, namun ia tetap tak memberikan jawaban. Hingga akhirnya perawat yang
berada disampingku mencoba menengkanku yang semakin menjadi.
“Kami akan upayakan yang terbaik.
Saat ini putri anda membutuhkan darah”
Ambil saja darahku. Ambil
sebanyak apapun kalau perlu sampai putriku sadar. Masih sambil menangis, aku
menjulurkan kedua tanganku tanpa fikir panjang. Menggerang berkali-kali, hingga akhirnya
dokter itu mengangguk ragu.
Dan darah itupun mengalir melalu
pipa-pipa kecil. Membawa rasa cintaku ke dalam tubuh putri kecilku.
Menjadikannya obat yang tak ternilai harganya. Menyampaikan rasa cinta yang
teramat besar. Kau harus berjuang anakku. Ayah mencintaimu.
No comments:
Post a Comment