Tuesday 12 November 2013

Pemburu para pemancing tawa

pict source: http://carolynannryan.com/blog/?p=1016

Sastrawan kekinian hadir dalam bungkus yang nyaris sama, sebendel naskah yang diseduh dengan berbagai gaya penulisan. Namun sepetinya para penyair saat ini tau betul bagaimana kebutuhan publik yang nyatanya haus akan tawa. Hingga akhirnya harus datang dengan membawa kotak pandora penuh gelak.

Kadar duka yang tinggi di negri ini mungkin membuat para pemancing tawa menjadi primadona. Penikmat dari berbagai lapisan pun seperti mengalami candu tak terobati. Karna kini, penat cukup terbayar dengan sepotong tawa. Sebatas diawali kicauan satu dua wacana humor saja, mampu membuat seseorang mengantongi ribuan penangkap tawa. Mereka menyerukan kekaguman yang hanya datang karna emosi mulai terbawa kocak. Dan itu terhitung maha karya.

Jika boleh berprinsip, bukankah sastra itu membawa pesan yang begitu damai. Harmoni aksara yang terdengar pun bukan untuk ditertawakan, tapi direnungi. Membacanya lamat-lamat adalah obat jenuh paling ampuh. Menikmati romantisme sastra dramatis bersama Dewi Lestari, merinding mengeja bahasa tulis Laksmi Simanjuntak, merenungi dongeng Tere Liye dan membaui aroma para pujangga tulis kenamaan adalah suka yang tak tebendung. Menerawang setiap plot di dalamnya dengan imajinasi yang tak berujung. Karna sastra selalu punya makna yang tak mengenal batas.

Lalu kenapa tidak mencoba berehat memburu tawa. Karna orkestra sastra tak melulu soal warkop tawa. Selami lebih dalam lagi, maka itulah alunan bahasa yang merdu.


No comments:

Post a Comment