Sekilas memang tidak tidak ada
yang salah dengan menjadi individu yang ketergantungan akan barang-barang,
namun jika jumlahnya yang sudah tinggi saya tidak yakin itu masih dapat
dikatakan benar. Bayangkan, betapa bodohnya masyarakat dunia dicekoki dengan
brand-brand yang menjajikan “eksistensi” dan popularitas. Hingga akhirnya
masyarakat mulai sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Itulah celah
yang diserang oleh para raksasa-raksasa bisnis dunia.
Lebih sedihnya lagi, banyak
berbagai bentuk strategi penjualan yang mulai menggunakan anak-anak sebagai
objek pemasaran. Bermain dan belajar bukan lagi sepenuhnya dunia anak-anak saat
ini. Kegilaan akan produk “bling-bling” sudah mulai menjadi mainan baru bagi
generasi kecil kita. Secara singkat kita bisa menilai ini sebagai “pendidikan
konsumtif sejak dini”. Miris bukan?
Lalu masih cukup kah kita
memandang kondisi pemasaran saat ini sebagai sesuatu yang “lumrah” dalam dunia
bisnis? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab dalam menjaga moral masyarakat
saat ini? Tidak ada yang mampu menjawab saya pikir. Jawaban yang sangat klasik
mungkin akan menempatkan masyarakat sebagai konsumen yang bodoh dan para
pedagang-pedagang internasional itu akan selalu benar, “Ini pemasaran, bung!”
Dalam essay saya kali ini, bukan
berarti saya menyudutkan pemasaran sebagai bagian dari perusak moral dunia.
Namun, fenomena pemasaran yang ada saat ini sudah mulai mengecewakan bagi saya.
Seharusnya, sebagai bagian dari bisnis, perusahaan-perusahaan harus bertanggung
jawab dalam menjaga moral masyarakat. Tidak hanya sekedar CSR yang muncul
sebagai bentuk “membangun popularitas” semata. Namun juga kesadaran akan
pentingnya membentuk konsumen menjadi individu yang cerdas.
*tulisan ini merupakan tugas refleksi batin yang saya buat untuk memenuhi tugas Etika Bisnis
No comments:
Post a Comment