Aku masih ingat
bagaimana pertama kali aku mengenal kalian. Pertemuan yang entah itu sebuah
ketidak sengajaan atau bagaimana. Pertemuan yang akhirnya membuat kita
terperangkap dalam lingkaran yang sama.
Aku kenal kalian, nama
kalian satu demi satu, pribadi kalian. Namun, sepertinya aku tak benar-benar
mengenal kalian. Rasanya terlalu
sederhana aku menggambarkan kalian dengan sekedar nama dan pertemuan kita
setiap harinya. Aku hanya bertemu kalian di “siang” dimana matahari bisa
membantuku melihat kalian satu demi satu. Tapi sayangnya Tuhan belum memberiku
kesempatan untuk melihat kalian di “malam”, dimana sedikit cahaya yang bisa
membantuku.
Jika boleh aku berumpama,
kalian mungkin hampir sama seperti kalkulus. Ya, ilmu matematika yang sama
sekali tidak aku mengerti dan hampir selalu menjatuhkan banyak mahasiswa
teknisi. Rasanya memahami kalian hampir sama seperti memecahkan satu bait soal
kalkulus sederhana, rumit dan aku tak dapat menyelesaikannya.
Hari kemarin, aku
mencoba menerka-nerka bagaimana wujud kalian yang begitu abstrak. Seringkali
aku memenangkan asumsiku yang berdasarkan emosi. Aku sebal dan bebal. Bagiku
mungkin kalian seperti berusaha mencari sesuatu yang membuat kalian semakin
puas. Ya, bukan berarti juga kalian gila akan kepuasan, tapi lebih bagaimana
kalian mencari kenyamanan diri. Terlalu nyaman sampai akhirnya kalian
meninggalkan sesuatu yang tak seharusnya ditinggalkan.
Mungkin kalian boleh
menilai aku arogan dan enggan bercampur. Tapi seiring berjalannya waktu, aku
sering merasa tidak lagi melewati jalan yang sama seperti kalian. Rasanya dunia
kalian sudah semakin berbeda, apa yang ingin kalian capai dan apa denganku.
Jujur, aku bukan orang yang senang dengan mencari kenyamanan. Namun dibalik
ketidaksukaanku, aku berusaha memahami kekecewaan yang sudah bersarang dalam
diri kalian. Entah itu sesuatu yang dapat aku raba atau tidak.
Kalau boleh aku
memohon, coba kalian intip sekali lagi tirai gelap yang ada di belakang kalian.
Jangan hanya sejenak, lebih dalam menerawang ke dalam tirai itu sampai kalian
dapat melihat sesuatu. Sesuatu yang hanya kalian sendiri yang dapat
menjabarkannya. Bukan aku.
“Apa yang kalian
lihat?”
Apakah sesuatu yang
baik-baik saja? Apakah sesuatu yang TERLIHAT baik-baik saja? Apakah sesuatu
yang sangat ...................
Tanpa harus aku
bertanya, kalian memiliki jangkauan pandang yang lebih hebat dibanding aku. Kalian
bahkan tak perlu menggunakan kacamata untuk memandang segalanya dan kalian pun
mengerti. Lalu bagaimana lalu?
“Apa cukup hanya
dengan menggangguk?”
...........
Ya, memang sangat
tidak munafik saat seseorang lebih memilih sesuatu yang memiliki warna dari
pada yang cenderung gelap. Aku juga begitu di beberapa kondisi. Dan aku
menyesali hal itu. Aku mengerti rasanya nafas terasa semakin lega saat kalian
berada dalam lingkaran yang berbeda. Lingkaran yang tidak terbatas tirai atau
tembok beton. Lingkaran yang bisa memberikan kalian ruang untuk sekedar datang
dan pergi.
Tapi sayangnya aku
sudah semakin merasa tertinggal di belakang dan kalian sudah berjalan ribuan
langkan di depanku. Aku harus jujur, aku memang takut dengan sendiri. Dari sejak
kecil, hingga aku berkepala dua masih dalam rasa takut yang sama. Aku tidak
bisa hidup sendiri di dalam armada ini bersama orang-orang yang sama sekali
tidak aku kenal. Kalian yang aku kenal. Hanya.
Hey, tidak kah kalian
tau? Orang-orang disekitarku mulai semakin membuatku geram. Pandangan mereka
sepeti kosong. Ya, mirip seperti zombie yang sering aku lihat di film-film.
Mereka bisa saja sewaktu-waktu menggigitku dan ceritaku habis. Aku bukan orang
yang mudah begitu saja mengikuti kemana ombak membawa armada besar ini. Aku
masih bisa membaca arah kompas dan aku tau armana ini menuju arah yang salah.
Kita seharusnya ke
barat, dimana matahari terbit. Tapi sayangnya kapal besar ini semakin gencar
bergerak menuju arah timur. Mereka membawa kompas yang salah, entah apa yang
salah. Para nahkoda mulai menjadi budak penunjuk arah yang mereka bawa dan
mereka anggap benar. Aku sangat ingin menuntun mereka menuju barat, walau
dengan segala keterbatasan. Aku dan betapa sedikitnya ilmu yang aku miliki. Aku
sadar, nahkoda-nahkoda itu bisa mengoprasikan kapal ini dengan baik dibanding
aku. Tapi aku tau ini salah dan terlalu jahat jika aku terus menurut.
Hey, maukah kalian
kembali menggenggam tanganku. Ya, kita bersama menggenggam dua belas pasang
tangan. Seperti yang pernah kita lakukan dulu. Bantu aku menuntun nahkoda dan
orang-orang yang ada di dalamnya. Bimbing aku, walau kalian sudah lelah dengan
masa lalu.
4 Juli 2012
No comments:
Post a Comment