Thursday 12 July 2012

12 pasang tangan



Aku masih ingat bagaimana pertama kali aku mengenal kalian. Pertemuan yang entah itu sebuah ketidak sengajaan atau bagaimana. Pertemuan yang akhirnya membuat kita terperangkap dalam lingkaran yang sama.

Aku kenal kalian, nama kalian satu demi satu, pribadi kalian. Namun, sepertinya aku tak benar-benar mengenal kalian.  Rasanya terlalu sederhana aku menggambarkan kalian dengan sekedar nama dan pertemuan kita setiap harinya. Aku hanya bertemu kalian di “siang” dimana matahari bisa membantuku melihat kalian satu demi satu. Tapi sayangnya Tuhan belum memberiku kesempatan untuk melihat kalian di “malam”, dimana sedikit cahaya yang bisa membantuku.
Jika boleh aku berumpama, kalian mungkin hampir sama seperti kalkulus. Ya, ilmu matematika yang sama sekali tidak aku mengerti dan hampir selalu menjatuhkan banyak mahasiswa teknisi. Rasanya memahami kalian hampir sama seperti memecahkan satu bait soal kalkulus sederhana, rumit dan aku tak dapat menyelesaikannya.
Hari kemarin, aku mencoba menerka-nerka bagaimana wujud kalian yang begitu abstrak. Seringkali aku memenangkan asumsiku yang berdasarkan emosi. Aku sebal dan bebal. Bagiku mungkin kalian seperti berusaha mencari sesuatu yang membuat kalian semakin puas. Ya, bukan berarti juga kalian gila akan kepuasan, tapi lebih bagaimana kalian mencari kenyamanan diri. Terlalu nyaman sampai akhirnya kalian meninggalkan sesuatu yang tak seharusnya ditinggalkan.
Mungkin kalian boleh menilai aku arogan dan enggan bercampur. Tapi seiring berjalannya waktu, aku sering merasa tidak lagi melewati jalan yang sama seperti kalian. Rasanya dunia kalian sudah semakin berbeda, apa yang ingin kalian capai dan apa denganku. Jujur, aku bukan orang yang senang dengan mencari kenyamanan. Namun dibalik ketidaksukaanku, aku berusaha memahami kekecewaan yang sudah bersarang dalam diri kalian. Entah itu sesuatu yang dapat aku raba atau tidak.
Kalau boleh aku memohon, coba kalian intip sekali lagi tirai gelap yang ada di belakang kalian. Jangan hanya sejenak, lebih dalam menerawang ke dalam tirai itu sampai kalian dapat melihat sesuatu. Sesuatu yang hanya kalian sendiri yang dapat menjabarkannya. Bukan aku.
“Apa yang kalian lihat?”
Apakah sesuatu yang baik-baik saja? Apakah sesuatu yang TERLIHAT baik-baik saja? Apakah sesuatu yang sangat ...................
Tanpa harus aku bertanya, kalian memiliki jangkauan pandang yang lebih hebat dibanding aku. Kalian bahkan tak perlu menggunakan kacamata untuk memandang segalanya dan kalian pun mengerti. Lalu bagaimana lalu?
“Apa cukup hanya dengan menggangguk?”
...........
Ya, memang sangat tidak munafik saat seseorang lebih memilih sesuatu yang memiliki warna dari pada yang cenderung gelap. Aku juga begitu di beberapa kondisi. Dan aku menyesali hal itu. Aku mengerti rasanya nafas terasa semakin lega saat kalian berada dalam lingkaran yang berbeda. Lingkaran yang tidak terbatas tirai atau tembok beton. Lingkaran yang bisa memberikan kalian ruang untuk sekedar datang dan pergi.
Tapi sayangnya aku sudah semakin merasa tertinggal di belakang dan kalian sudah berjalan ribuan langkan di depanku. Aku harus jujur, aku memang takut dengan sendiri. Dari sejak kecil, hingga aku berkepala dua masih dalam rasa takut yang sama. Aku tidak bisa hidup sendiri di dalam armada ini bersama orang-orang yang sama sekali tidak aku kenal. Kalian yang aku kenal. Hanya.
Hey, tidak kah kalian tau? Orang-orang disekitarku mulai semakin membuatku geram. Pandangan mereka sepeti kosong. Ya, mirip seperti zombie yang sering aku lihat di film-film. Mereka bisa saja sewaktu-waktu menggigitku dan ceritaku habis. Aku bukan orang yang mudah begitu saja mengikuti kemana ombak membawa armada besar ini. Aku masih bisa membaca arah kompas dan aku tau armana ini menuju arah yang salah.
Kita seharusnya ke barat, dimana matahari terbit. Tapi sayangnya kapal besar ini semakin gencar bergerak menuju arah timur. Mereka membawa kompas yang salah, entah apa yang salah. Para nahkoda mulai menjadi budak penunjuk arah yang mereka bawa dan mereka anggap benar. Aku sangat ingin menuntun mereka menuju barat, walau dengan segala keterbatasan. Aku dan betapa sedikitnya ilmu yang aku miliki. Aku sadar, nahkoda-nahkoda itu bisa mengoprasikan kapal ini dengan baik dibanding aku. Tapi aku tau ini salah dan terlalu jahat jika aku terus menurut.
Hey, maukah kalian kembali menggenggam tanganku. Ya, kita bersama menggenggam dua belas pasang tangan. Seperti yang pernah kita lakukan dulu. Bantu aku menuntun nahkoda dan orang-orang yang ada di dalamnya. Bimbing aku, walau kalian sudah lelah dengan masa lalu.
4 Juli 2012

No comments:

Post a Comment