“Tidak ada yang mencoba untuk menghitung
waktu malam itu. Semua berusaha tenang, memfokuskan seluruh indra pada beberapa
langkah ke depan. Tidak begitu jelas memang, tapi semua sepertinya sudah sangat
pandai menerawang. Cerita di Sudut Panderman.”
Satu hal yang akan sangat mudah untuk
ditangkap dalam perjalanan malam ini, dingin yang tidak begitu bersahabat. Tanpa perlu banyak bicara pun, semua mulai merapatkan
baju hangat masing-masing. Berharap itu dapat menjadi penawar dingin yang tepat.
Semua tampak tenang, kecuali suara mesin
yang terus menderu. Bising memang, tapi setidaknya itu menunjukkan satu
semangat yang sama. Sesekali di antara deretan roda dua itu, terdengar tawa
yang membahana di sepanjang jalan. Meninggalkan jejak perjalanan malam ini. Ya,
hanya dengan alasan sederhana, berbagi kebahagiaan.
Setelah sebagian dari waktu tidur terbuang
bersama suara mesin. Akhirnya koloni kecil ini berpijak di kaki gunung. Tanpa
perlu hitungan yang panjang, semua mungkin sudah dapat meraih sudutnya. Lalu
menatap fajar yang sejak beberapa waktu lalu terbayang-bayang.
Namun perjalanan tidak selesai dalam
hitungan detik. Setidaknya memerlukan sedikit otot untuk mencapai puncak.
Sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengencangkan pinggang, semua membawa satu
semangat menyusuri hutan yang cukup tenang.
Walau langit belum menunjukkan terangnya,
namun rasa takut tidak begitu mengganggu. Mugkin sesekali datang, dengan
berbagai alasan. Tak ada yang perlu ditakutkan, koloni kecil itu sepertinya
saling menguatkan. Satu sama lain.
Waktu sepertinya sudah berjalan di luar
perkiraan, namun koloni kecil ini belum juga menemukan puncaknya. Walau sepertinya
ada seorang kapten yang mengaku tidak buta arah, namun sepertinya punjak masih cukup jauh dari pandangan.
Semua bingung, lelah juga mungkin. Belum lagi debu yang kurang bersahabat mulai
mengganggu pernafasan. Semua berkali-kali lipat lebih lelah dari biasanya.
Dengan bermodalkan pengalaman beberapa
pekan yang lalu, sang kapten berusaha membuat koloni kecil ini tidak merasa
resah. Perjalanan ini sudah sedikit membingungkan. Beberapa terlihat mulai
putus asa. “Akankah kita mampu mengejar fajar?”
Akhirnya, dengan penuh rasa lelah, semua
dapat menggapai puncak sebelum mentari muncul di sudut cakrawala. Gelap
perlahan mulai luntur menjadi menjadi rona merah yang membias perlahan. Sangat
disayangkan, mentari yang sangat ingin dinikmati pagi ini tertutup gunung yang
lebih besar di sisi kanan. Walau hanya dapat menikmati biasnya, hamparan
gunung-gunung di sejauh mata memandang, membuat siapapun tak akan pernah merasa
kecewa.
Walau tanpa perlu sebuah penjelasan, semua
berusaha menyumbunyikan bahagia. Beberapa berteriak-teriak, tak lagi mampu
menahan rasa kagum yang luar biasa. Perjalan melelahkan beberapa waktu yang
lalu sudah terbayarkan. Mungkin ini hanya sebatas kisah sederhana. Mengejar
fajar.
No comments:
Post a Comment