Saturday, 25 October 2014

"perjalanan"

pict source: http://thatgamecompany.com/games/journey/

Ada saat di mana aku memimpikan sebuah perjalanan. Bukan perjalanan yang menghasilkan kenangan untuk dapat dibagi, dalam bentuk cerita atau buah tangan. Hanya sebatas perjalanan yang tidak lebih dari makna berjalan itu sendiri. Bergerak maju dari suatu titik ke titik lain.

Aku ingin menginjak pasir yang tak berbatas, menghirup udara yang luas, dan memandang langit tak berujung. Aku tak mengharapkan perjalanan yang memiliki batasan waktu dan kemampuan. Aku ingin menjadi petualang yang abadi.

Aku tidak butuh pendamping atau seseorang yang dapat menjadi penawar kesendirian. Aku menolak kebersamaan, aku ingin menikmati romantisme ini seorang diri. Meminang alam yang sudah terlalu lama digauli banyak manusia. Berdialog dengan bulan dan bintang, walau dengan bahasa yang tak terdengar sedikitpun.

Aku juga tidak butuh peta apalagi penunjuk arah. Aku tidak memiliki tujuan, karna yang kulakukan hanya bergerak maju. Melangkahkan kaki sampai akhirnya tubuhku yang melumpuhkan betisku, mematikan jemariku, dan membungkam mulutku. Sampai pada batas, alam menidurkanku dalam bilik yang beranjang tanah, berselimut lemah, dan beratapkan kembang melati.

Perjalananku baru benar-benar dimulai.


Bali Mas 1

Setelah tiga tahun hidup di daerah Perum 4, keluargaku memutuskan untuk pindah ke perumahan (yang katanya) kenamaan di jantung kota Pontianak, Bali Mas 1. Ketimbang menyebutnya perumahan, Aku lebih sering melihatnya sebagai jalan setapak. Jalurnya satu arah, tak bercabang, dan terbilang sempit sebagai hunian yang tepat bersebelahan dengan Gedung DPRD. Rumah-rumahnya pun tidak terbilang banyak. Kalah jumlah bila dibandingkan tempat tinggal lamaku di sebrang sungai Kapuas.

Sebagai anak tamatan TK yang baru saja pindah dari perkampungan, waktu bermainku sangat tidak mengenal aturan. Bahkan tubuhku yang kurus semakin kering dibakar panasnya ibu kota Kalimantan Barat. Sampai-sampai tidak ada yang dapat menandingi kulit coklatku.

Di sini tidak lagi kudapati anak-anak bermain tapok pipet1 di siang bolong, apalagi berolah fisik dengan bermain bola kaki. Semua pintu tertutup rapat dengan pagar yang seolah menghalagi siapapun untuk berkunjung. Benar-benar membosankan!

“Tidak perlu diingatkan, anak-anak kota memang memilih beristirahat di udara sepanas ini, bukan malah keluyuran ‘ga tau waktu,” tukas ibu yang mulai jengah melihatku yang terlewat hiperaktif. Bolak-balik mengamati jendela, padahal masih pukul 12 siang. Menerka-nerka siapa yang bisa membawaku kabur dari rumah.

Dengan maksud berdamai, aku hanya membalas ibu dengan cengiran setengah malas. Berharap omelan ibu tidak berakhir menjadi perintah tidur siang. Ah,andai saja ibu mengerti betapa bencinya aku tidur siang.

***

Walau butuh waktu yang tidak singkat, aku mulai mengenal bocah seusiaku. Mereka sama-sama suka bermain, tapi dengan cara yang lebih anggun. Jika teman-temanku dulu bermain di alam terbuka, gadis-gadis elit ini justru lebih menikmati bermain di ruang tertutup. Tidak merasa kesepian walau hanya ditemani boneka. Ini pun jadi kali pertama aku menjadikan rumah sebagai arena bermain, bukan lagi kurungan.

Tidak ada lagi petualangan, tidak ada lagi tanah ilalang yang dapat aku telusuri. Di antara deretan rumah-rumah tanpa spasi, aku sedikit lebih mulai belajar mengatur waktu bermainku. Mengikuti jadwal teman-teman baruku yang hanya dapat ditemui pada sore hari. Aku mulai mencoba tidur siang dan ternyata itu tidak terlalu buruk.


Perlahan, gang buntu itu mulai menata hidupku, mengatur waktu bermain dan belajarku. Bahkan lebih tegas ketimbang omelan Ibuku tempo hari. Gaya hidup masyarakatnya, membuatku belajar tentang sesuatu yang pantas dan tidak. Hingga akhirnya aku harus kembali ke tanah kelahiranku di pulau Jawa. Sungguh, masa kecilku benar-benar terekam panjang di sini.

____________________________________________________
1 tapok pipet = petak umpet dalam bahasa melayu

Sunday, 12 October 2014

Datang kembali

"Setelah pergi tanpa pamit, saya pun datang tanpa tanda-tanda."

Berbulan-bulan sudah, saya sibuk dengan rutinitas seorang mahasiswa tingkat akhir. Mengerjakan ratusan baris naskah yang menjadi tempat untuk menggantungkan nasib, skripsi. Gelar sarjana ekonomi saya benar-benar menjadi taruhan yang tidak main-main. Jadi mungkin itu yang menjadi perkara kenapa saya benar-benar lupa untuk sekedar mampir ke blog ini.

Sejak tulisan ini saya buat, bukan berarti skripsi saya kelar lho. Hanya saja, waktu saya sedikit lebih longgar karna sedang menunggu revisi bab 4. Setelah revisi bab 4 sampai di tangan, itu persoalan lain yang belum bisa saya duga. Kita doakan saja, semoga revisinya kali ini mau lebih bersahabat dengan saya.

Awalnya saya ga berniat sama sekali untuk menulis pesan "datang kembali" seperti ini. Rencana awal, langsung saja memasukkan teks seperti biasa. Toh blog ini lebih banyak dinikmati oleh diri saya sendiri. Tapi anehnya, pada saat (mencoba) kembali menulis, bahasa saya jadi kaku dan jauh dari kata menarik. Padahal kalau diperhatikan, saya hampir selalu menulis setiap harinya. Bedanya hanya pada jenisnya saja. Kalau biasanya menulis sasta, beberapa bulan ini saya getol menulis skripsi yang lebih menjurus ke arah artikel. Ah...

Sepertinya saya harus mulai lagi pelan-pelan. Mulai membaca-baca lagi bacaan "remeh-temeh" yang bisa memperkaya bahasa tulis saya. Dengan harapan kedepannya saya bisa mulai terbiasa dan ga lagi ragu-ragu sama apa yang saya hasilkan.


Sunday, 19 January 2014

Percaya

Kau boleh saja ragu. Mempertanyakan sejauh mana kau dapat menggapai titik asa. Tapi jangan pernah lupa untuk kembali mencari. Karna jawaban selalu ada dalam kalbumu. 

Jika kamu memang selalu sekasar itu, jangan lukai dirimu. Cukup diam dan renungi semua gundahmu. Karna sunyi selalu mampu memberimu jalan. Menuju apa yang kau teorikan tentang bahagia. 

Jangan pula banyak mendengar. Karna nyatanya indramu tak sekuat itu, jauh lebih rapuh di dalamnya. Dan segala tutur tak lebih dari sebatas kesan pribadi, bukan sesuatu yang perlu dibenarkan.

Kau hanya perlu berjalan di muka. Lalu melihat kemantapan hatiku.

Tentangmu.

Kau tidak akan mengerti duniaku

pict source: http://fineartamerica.com/featured/dont-leave-me-alone-in-this-bed-lauren-xenos.html

Fajar
Aku hampir selalu linglung selepas fajar. Waktu tidurku yang berantakan selalu membuatku melewatkan azan Subuh dan aroma embun segar. Tidak seorangpun menegurku, membangunkanku barangkali lewat ponsel, apalagi membuatkanku secangkir kopi sebagai sarapan. Hidupku benar-benar kacau, seperti waktu yang juga tak bersahabat. Lewat pukul sembilan.

Aku hampir selalu terburu-buru. Menunda mandi pagi dan tak sedikitpun mengenakan wewangian. Mungkin juga masih dengan mengenakan setelan tidur tadi malam. Mengejar aktivitasku yang bahkan hampir tak bisa datangi tepat waktu.  Melewati beberapa waktu perjalanan yang hampir selalu sendiri. Ah andai saja ada seorang kawan yang mau menumpangiku.

Aku hampir selalu tak mengenal rasa bersalah. Saat pintu ruangan sudah benar-benar tertutup untukku, aku hanya diam. Tidak sedikitpun kecewa, justru mengutuk ketidakadilan yang selalu kudapati setiap pagi. Bagiku, keterlambatan tak memiliki batas toleransi.

Mengapa pagi selalu gagal berteman baik denganku. Aku hampir gerah dibuatnya. Rutinitas serba kilat yang tak sedikitpun aku nikmati. Aku kehilangan segalanya saat pagi dan itu benar-benar payah. 

Tengah Hari
Aku menelusuri sepanjang kampus, menikmati kesendirianku. Sesekali mempertajam pikiranku dengan artikel-artikel kaskus dalam smartphoneku. Tak banyak memang yang bisa aku kerjakan karna hidupku hampir benar-benar tidak dapat ditata kembali. Pulang ke kamar sewaanku juga bukan pilihan yang baik. Nyatanya aku hanya akan seperti kambing guling di atas kapuk. Tak berdaya.

Dalam hal berbusanapun aku terhitung jarang menjadi perhatian. Aku selalu merasa baik-baik saja dengan setelan yang menurut banyak orang tergolong lusuh. Tanpa perlu melihat busana apa yang sedang menjadi incaran, kaos dan celana belel selalu terasa pas. Dan jika rata-rata pria sudah mulai bersolek, aku tetap santai dengan memilih tidak peduli. Karna mungkin aku tidak paham dunia yang satu ini.

Sesekali aku masuk ke dalam gerombolan manusia, berbincang-bincang dan berpindah setelahnya. Tidak banyak yang bisa aku sampaikan, karna sepatah katapun tak ada yang menatapku, apalagi menyimak. Hanya wajah-wajah bergurau yang selalu kudapati, pandangan meremehkan dan sering kali menghindar. Banyak yang bilang, aku terlalu banyak berbicara. Memvisualkan apa yang selalu kubaca dan itu tak benar-benar dapat dimengerti. 

Jika umumnya orang akan menuntut perhatian, aku hanya diam. Menerima semua perlakuan akan segala sikapku. Mandang segala bentuk cemoohan sebagai cara bergurau yang asik. Karna aku tidak benar-benar memahami emosi seseorang. Entah itu marah, sedih, selalu sama di mataku. Bagiku semua adalah teman bicara yang tak dapat digambarkan. Pertemanan tak selalu manis, bukan?

Senja
Menjelang sore hari, dunia sepertinya tidak juga berbaik hati denganku. Aku masih saja sendiri dan berpindah-pindah. Tak ada tempat yang benar-benar menerima tabiatku secara utuh. Entahlah siapa yang harus dipersalahkan. Aku atau mereka, kita sama-sama tidak saling memahami. Dan mungkin sampai kapanpun, kau tak akan mengerti duniaku.


*Menjabarkan apa yang tak benar-benar kita rasa ternyata tidak terhitung mudah. Mungkin menggambarkan visualisasi seseorang butuh waktu panjang. Semoga karya pertama ini bukan tergolong buruk.