Setelah tiga tahun hidup di daerah Perum 4, keluargaku
memutuskan untuk pindah ke perumahan (yang katanya) kenamaan di jantung kota
Pontianak, Bali Mas 1. Ketimbang menyebutnya perumahan, Aku lebih sering melihatnya
sebagai jalan setapak. Jalurnya satu arah, tak bercabang, dan terbilang sempit
sebagai hunian yang tepat bersebelahan dengan Gedung DPRD. Rumah-rumahnya pun
tidak terbilang banyak. Kalah jumlah bila dibandingkan tempat tinggal lamaku di
sebrang sungai Kapuas.
Sebagai anak tamatan TK yang baru saja pindah dari
perkampungan, waktu bermainku sangat tidak mengenal aturan. Bahkan tubuhku yang
kurus semakin kering dibakar panasnya ibu kota Kalimantan Barat. Sampai-sampai
tidak ada yang dapat menandingi kulit coklatku.
Di sini tidak lagi kudapati anak-anak bermain tapok pipet1 di siang bolong,
apalagi berolah fisik dengan bermain bola kaki. Semua pintu tertutup rapat
dengan pagar yang seolah menghalagi siapapun untuk berkunjung. Benar-benar
membosankan!
“Tidak perlu diingatkan, anak-anak kota memang memilih
beristirahat di udara sepanas ini, bukan malah keluyuran ‘ga tau waktu,” tukas
ibu yang mulai jengah melihatku yang terlewat hiperaktif. Bolak-balik mengamati
jendela, padahal masih pukul 12 siang. Menerka-nerka siapa yang bisa membawaku
kabur dari rumah.
Dengan maksud berdamai, aku hanya membalas ibu dengan cengiran
setengah malas. Berharap omelan ibu tidak berakhir menjadi perintah tidur siang.
Ah,andai saja ibu mengerti betapa bencinya aku tidur siang.
***
Walau butuh waktu yang tidak singkat, aku mulai mengenal
bocah seusiaku. Mereka sama-sama suka bermain, tapi dengan cara yang lebih
anggun. Jika teman-temanku dulu bermain di alam terbuka, gadis-gadis elit ini
justru lebih menikmati bermain di ruang tertutup. Tidak merasa kesepian walau
hanya ditemani boneka. Ini pun jadi kali pertama aku menjadikan rumah sebagai
arena bermain, bukan lagi kurungan.
Tidak ada lagi petualangan, tidak ada lagi tanah ilalang
yang dapat aku telusuri. Di antara deretan rumah-rumah tanpa spasi, aku sedikit
lebih mulai belajar mengatur waktu bermainku. Mengikuti jadwal teman-teman
baruku yang hanya dapat ditemui pada sore hari. Aku mulai mencoba tidur siang
dan ternyata itu tidak terlalu buruk.
Perlahan, gang buntu itu mulai menata hidupku, mengatur
waktu bermain dan belajarku. Bahkan lebih tegas ketimbang omelan Ibuku tempo
hari. Gaya hidup masyarakatnya, membuatku belajar tentang sesuatu yang pantas
dan tidak. Hingga akhirnya aku harus kembali ke tanah kelahiranku di pulau
Jawa. Sungguh, masa kecilku benar-benar terekam panjang di sini.
____________________________________________________
1 tapok pipet = petak umpet dalam bahasa melayu